Beberapa dari kita mungkin sudah tidak asing dengan wajah-wajah atau bahkan nama Lomba Sihir. Awalnya mereka merupakan band pengiring ketika Hindia tampil, pertama kali yakni di We The Fest 2019.
Kini mereka berenam—Baskara Putra alias Hindia (vokal), Natasha Udu (vokal), Rayhan Noor (gitar, vokal), Wisnu Ikhsantama (bas, vokal), Tristan Juliano (kibor, vokal) dan Enrico Octaviano (drum)—meresmikan Lomba Sihir menjadi sebuah kesatuan band secara utuh.
Setelah sempat merilis dua lagu “Hati dan Paru-Paru” dan “Apa Ada Asmara” sebagai perkenalan materi mereka sebagai band, Lomba Sihir lalu merilis debut album penuhnya “Selamat Datang di Ujung Dunia” pada tanggal 26 Maret 2021 dalam format digital di bawah naungan label rekaman Sun Eater.
Versi CD-nya baru saja beredar melalui jaringan distribusi demajors sejak tanggal 22 Juli 2021, dan telah tersedia di berbagai gerai toko rekaman.
“Selamat Datang di Ujung Dunia” terdiri dari 12 nomor yang memiliki musikalitas berbeda, serta terkesan eklektik, menurut Lomba Sihir dalam sesi jumpa persnya yang lalu. “Selamat Datang di Ujung Dunia” bisa dikatakan seperti “gado-gado”. Secara keseluruhan banyak menceritakan bagaimana anak muda kelas menengah usia 20-an yang hidup di Jakarta.
“Album ini adalah bagaimana kami, enam anak muda yang tumbuh besar di Jakarta, mencurahkan pahit manis yang kami rasakan di sini,” ucap Udu yang mengisi departemen vokal dan menyumbangkan lirik berkisah pencarian cinta berjudul “Apa Ada Asmara”.
Rayhan ikut menyampaikan keberagaman musikalitas di setiap lagu, menurutnya Lomba Sihir sendiri pada dasarnya mengambil elemen-elemen musik populer—bukan pop yang spesifik pada genre. Seperti yang Enrico sampaikan, “Enam kepala ini punya warna sendiri-sendiri. Itu yang mau kami sampaikan di album ini. Setiap lagunya beda-beda. Itu yang bikin seru.”
Beberapa tema cerita lainnya dalam album ini yakni; tentang tekanan untuk segera menikah (“Semua Orang Pernah Sakit Hati”), frustrasi mengejar karier (“Polusi Cahaya”), amarah terhadap pemerintah (“Nirrrlaba”), berbohong demi mencari aman (“Jalan Tikus”), pedoman untuk bertahan di Jakarta (“Hati dan Paru-Paru”).
Setiap personel yang juga tergabung dengan unit band lain seperti Martials atau Mantra Vutura bukan menjadi penghalang dalam proses kreatif Lomba Sihir, mereka mengaku setiap personel diberi porsi yang merata.
“Perjalanan bersama Lomba Sihir semakin hari semakin melebur. Meski setiap anggota memiliki bandnya masing-masing, entah bagaimana Lomba Sihir selalu berhasil mengeluarkan sisi lain yang super fun.” Ucap Tristan yang juga mengisi vokal pada lagu “Cameo”.
Sesi rekaman “Selamat Datang di Ujung Dunia” dilakukan di dua studio yaitu Soundpole dan SoundVerve Studio dengan Rama Harto Wiguna yang dipercaya menjadi engineer-nya. Waktu proses tersebut cukup cepat, Lomba Sihir hanya menghabiskan waktu selama satu bulan sejak Januari hingga Februari 2021.
Album tersebut diproduseri oleh Enrico, Tama, Tristan, dan Rayhan. Sementara untuk mixing dilakukan oleh Tama, Enrico, dan Rayhan sebelum proses mastering digarap oleh Marcel James: “Album ini kalau dipikir-pikir seharusnya jadi materi paling sulit, kenyataannya ini malah jadi yang paling menyenangkan dan paling dimudahkan pengerjaannya. Semua di band ini tahu apa yang dikerjakan dan apa yang mau dituju.”
Ada beberapa nama lainnya yang turut terlibat dalam penggarapan album ini; Mohammed Kamga sebagai pengarah vokal dan pengisi vokal latar di “Selamat Datang” dan “Tidak Ada Salju di Sini, Pt. 6 (Selamat Jalan)”; Matter Mos yang membantu aransemen lagu “Ya Mau Gimana?”; Kusuma Widhiana yang ikut menggubah “Polusi Cahaya” dan bermain piano di lagu itu, serta Petra Sihombing yang menyumbangkan vokal, gitar, dan lirik pada lagu “Tidak Ada Salju di Sini, Pt. 6 (Selamat Jalan)”.
Baskara yang juga memiliki andil pada materi album tersebut menjelaskan analogi yang tepat untuk mewakili bagaimana “Selamat Datang di Ujung Dunia”, “Album ini semacam foto keluarga besar kami ramai-ramai dengan latar belakang Jakarta untuk dikenang oleh kami berenam dan tim kami selama-lamanya. Semoga dalam bingkai foto itu, di saat orang lain melihat, mereka juga bisa mengenang sesuatu.”