Gelas kopi pertama baru saja ia habiskan. Gelasnya besar, di luar ukuran gelas kopi di kafe. Kopinya pahit, tanpa gula. Ia menyeduhnya dengan menubrukkan bubuk kopi dengan air matang bersuhu 98 derajat, tanpa saringan ataupun perangkat tambahan lain. Dengan cara menyeduh sedemikian, ia bisa menyesap rasa sejati kopi robusta dari daerah Toraja itu. Perlakuannya pada kopi, disengaja maupun tidak, juga ia terapkan pada musik. Lewat indera pendengaran, ia membuka rasa untuk ”menyesap” karakter sejati musik populer yang ia dengar. Dari situ semuanya bermula. David Karto menjadi disc jockey (DJ) pada dekade 1990-an ketika masih SMA. Sebagai DJ, ia harus paham karakter lagu: ketukannya, temponya, langgamnya, hingga roh yang ada di baliknya.
Bermula dari merangkai musik yang terekam di medium kaset, ia lantas menjajal piringan hitam. Untuk memenuhi kebutuhan itu, ia mengimpor piringan-piringan hitam. Sebagian rekaman ia koleksi dan putar di acara disko. Sebagian lagi ia jual kembali. Untuk menjualnya, ia membuka toko piringan hitam pada tahun 2000 di daerah Gandaria, Jakarta Selatan. Toko itulah cikal bakal demajors Independent Music Industry (DIMI), yang kini mengedarkan dan menjual album-album musisi Indonesia, yang umumnya tidak banyak muncul di televisi.
Pada waktu itu, David menghitung modalnya tak cukup membeli tanah dan bangunan permanen. Ia terpantik ide memakai peti kemas bekas sebagai ”bangunan” toko tersebut. Ia mendatangi Pelabuhan Tanjung Priok dan membeli dua kontainer. Kedua peti kemas bekas itu ditumpuk sebagai toko dan kantor. Lantai atas dipotong separuh sehingga mereka punya teras. Di teras terbuka itulah, David dan kawan-kawannya sesama penikmat dan pelaku musik berkumpul. Toko piringan hitam bernama Demajors berjalan selama empat tahun. Selama kurun waktu itu, konsumennya, yang sebagian besar sesama disc jockey, mulai beralih ke format musik digital. Disc jockey semakin jarang yang meracik musik dari piringan hitam.
David mencermati perubahan tersebut. Ia lantas mengalihkan bisnisnya menjadi perusahaan rekaman yang memproduksi album musisi dalam negeri. Ia memilih mengembangkan infrastruktur peredaran karya musik independen, yang berada di luar radar industri besar. David yakin, pendengar masih punya semangat mengumpulkan album fisik jika sudah suka dengan karyanya. ”Anak-anak yang tumbuh di era digital ini bahkan bakal membeli album fisik kalau suka sama lagunya. Musik yang bagus pasti tetap dicari,” ujar David yang mengoleksi tak kurang dari 10.000 album piringan hitam ini.
Artikel selengkapnya bisa dibaca di Kompas Muda.