Lapisan Terbaru Soloensis

Soloensis adalah sebuah grup band yang terinspirasi dari nama spesies manusia purba yang pernah ada dan hidup di bantaran kali Bengawan Solo. Band ini mulai ada sejak tahun 2008-an dan muncul sebagai band indie di tahun 2010, pernah merilis album pertama di tahun 2014. Mereka mulai menjelajah panggung pentas di tahun 2015 dan mulai mengelar tour juga pentas dalam festival musik skala nasional macam Synchronize Fest atau Archipelago Fest.

Seolah-olah manusia purba kali bengawan hidup kembali dan membentuk grup band dengan nama panggung “Soloensis Purba Millenials”, seperti lahir kembali dan berulah dalam wujud milenial.

Soloensis kini adalah Faisal Ismunandar (drum), Pungkas Pinundi (bass), Alvi Rukmana (gitar), Gema Isyak (vokal, gitar).

Grup pemuda dengan segala permasalahannya merasa butuh punya dalih atau alasan untuk menjawab keresahannya. Setidaknya punya bahan berargumentasi dengan diri sendiri terhadap masalahnya, syukur-syukur dalihnya bisa digunakan untuk berdamai dengan pribadinya sendiri atau setidaknya menang melawan “dirinya sendiri”.

Ini sepuluh wujud yang mereka anggap dalih itu tadi, berwujud musik plus kalimat yang bersifat koheren (masih bisa disanggah dan saling berhubungan) bukan bersifat koresponden (berita padat). Sepuluh wujud lagu itu yang dikemas dalam album bertajuk Berlapis buatan band bernama Soloensis.

Bersamaan dengan rilisnya album Berlapis, Soloensis ingin hanya sedikit bercerita tentang isinya. Selebihnya tentang album ini, silakan tafsirkan atau tadaburkan menurut pengetahuan masing-masing, pesan mereka. CD Berlapis telah diedarkan luas oleh demajors sejak tanggal 3 Oktober 2020.

Dari sudut musik, Soloensis mengaku masih membawa nuansa yang energik, harmonisasi duet gitar yang lebih menonjol dari album sebelumnya, isian pukulan drum yang lebih variatif dengan bingkai petikan bass yang sederhana dan nada vokal yang lebih “bernyanyi” dari album sebelumnya..

“Singkat kata, kami masih senang dengan nuansa musik rock yang harmonis,” ujar mereka.

Dari sudut lirik, seperti halnya penulis lagu lainnya, yang mencoba sekedar bercerita apa yang dirasakan dalam dirinya maupun sekelilingnya. Bukan tulisan sebuah kebenaran tentang fenomena kejadian atau keadaan.

“Lebih nikmatnya jika teman-teman mendapati bahwa lirik yang dinyanyikan atau dituliskan dalam lagu-lagu ini hanya lapisan lapisan opini saja, bukan berita padat yang 100% benar,” tambah Soloensis.

“Mengapa kami hanya bisa sedikit memberi definisi tentang album ini? Karena kami sangat perlu mendapat definisi juga dari para pendengar atau pencinta, alasan ini juga cara kami agar tidak jumawa alias besar diri, musisi yang sudah menghasilkan album tidak pantas dikultuskan, tidak 100% benarnya, ini hanya seperti curhat receh yang dikonsep dan dikemas. Karya yang sudah terwujud hanya sebagai pemicu saja seperti halnya konten yang masih sangat bisa digarap untuk banyak disiplin bentuk kesenian, semua boleh jadi bisa meneruskan karya ini menjadi output lain seperti ilustrasi musik, atau bisa juga naskah cerita, boleh juga digubah menjadi buku oleh penulis. Begitu, sampai bertemu dalam bentuk kreatifitas lain.”

“Semua potensi solusi sudah ada pada diri masing-masing, hanya saja untuk mewujudkan sebuah solusi menjadi karya nyata itu memang membutuhkan energi lebih untuk berusaha, semoga album Berlapis ini mampu menemani teman-teman. Mungkin bisa jadi sebagai pemanas, penyemangat atau pembangkit energi untuk berproses mewujudkan solusi-solusi yang masih menggumpal dalam pikiran. Mari tandhang gawe kerja keras di bidang masing-masing.”

Bentuk ilustrasi album Berlapis itu bergambar gunung. “Kami sangat suka Gunungan dalam Wayang Kulit, yang di sana Gunungan adalah sebagai simbol lapisan kehidupan,” jelas Soloensis.

Album ini bisa didapatkan melalui situs demajors.com, demajors App, maupun di seluruh jaringan (at)demajors.

About Demajors News

Editorial Board at Demajors News Room.

View all posts by Demajors News →