Ketika sebagian besar label rekaman giat mendistribusikan musik-musik jelek, demajors justru melawan arus dan menjadi alternatif baru.
Segunduk nasi tumpeng berbagi ruang dengan beberapa kaleng bir di meja makan kayu di rumah bertingkat seluas 1000 meter persegi di kawasan elit Fatmawati Golf Mansion yang telah disulap menjadi kantor. Sekelompok anak-anak muda berdiri melingkar mendekat. Sebuah perayaan sederhana dari perjalanan dan pergulatan sepanjang delapan tahun akan segera dimulai.
Tiga anak muda yang mengambil posisi berlawanan dengan kerumunan kecil itu mulai bergantian memberi sepatah kata sambutan. Masing-masing bernama David Karto, 35 tahun, mantan DJ yang kini menjabat sebagai pendiri sekaligus managing director; Sandy Maheswara, 34 tahun, pendiri sekaligus CEO yang juga bekerja untuk sebuah perusahaan TV kabel serta Adhi Djimar, 42 tahun, eksekutif sebuah agensi iklan terkemuka di Jakarta yang juga menjabat sebagai strategic advisor di perusahaan yang terkenal memiliki beer-culture kuat ini.
Ketiganya dipersatukan selera musik yang sama; jazz dan ketiganya dipersatukan oleh semangat yang sama pula: Mendistribusikan musik-musik bagus dari para artis dan musisi lokal maupun internasional.
Inti pidato singkat semuanya rata-rata mensyukuri eksistensi serta prestasi yang telah dicapai “perusahaan” ini selama berkiprah di kejamnya belantara industri musik tanah air.
Demajors Independent Music Industry atau lebih dikenal dengan demajors merupakan salah satu dari sedikit saja label rekaman independen yang tersisa di Indonesia. Pada jamannya negeri ini sempat memunculkan banyak pelaku industri rekaman amatir yang merilis album-album artis lokal atas dasar kecintaan mereka yang besar pada musik…
*Untuk artikel selengkapnya bisa disimak pada majalah Rolling Stone Indonesia edisi 49 (Mei 2009). Teks oleh Wendi Putranto. Foto oleh Agustinus Sidharta.