Jika ingin menelusuri sejarah jazz di Indonesia, maka album Bubi Chen Kwartet yang dirilis pada tahun 1963 itu adalah holy grail penting yang patut dicatat. Album tersebut dirilis pertama kali oleh perusahaan rekaman Lokananta, Solo.
Album ini berisi delapan komposisi dalam format piringan hitam dengan sampul putih polos tanpa pernak-pernik sama sekali. Sebagian besar komposisi yang ada di album ini merupakan karya asli Bubi Chen dan Jack Lesmana, kecuali “Sri Ajuda” dan “Kasih Aku S’lalu Disampingmu” yang ditulis Soetedjo.
Album itu kabarnya hanya dicetak dalam jumlah terbatas yaitu sekitar 350 keping dalam format LP dalam 33 1/3 RPM. Konon album ini juga tidak terlalu laku pada zaman itu. Mungkin masih dianggap terlampau “berat” atau kebarat-baratan oleh pasar.
Gaya permainan piano bebop memang terasa kuat di setiap komposisi yang dimainkan Bubi Chen. Aksentuasi gitar Jack Lesmana pun secara utuh membingkai dalam tiap frasa yang mereka garap dengan detil dan mempesona. Bubi Chen dan Jack Lesmana memang bak dwi tunggal dalam menghasilkan pola permaian jazz bersahabat bagi kuping penikmat jazz, bahkan bagi pemula sekalipun.
Bubi Chen lahir di kota Surabaya, 9 Februari 1938. Sejak kecil, Bubi sudah tumbuh dengan musik. Dia belajar piano ketika usianya masih lima tahun dengan bimbingan Di Lucia, pianis kebangsaan Italia yang saat itu tinggal di Surabaya.
Motivasi Bubi Chen untuk mempelajari musik kian besar tatkala dia menyaksikan kedua saudaranya, Jopie dan Teddy Chen, mulai mahir bermain piano. Di fase ini, Bubi lebih banyak mengulik teknik dasar piano klasik. Pada kelas selanjutnya, dia dibimbing Yosef Bodmer, pianis berdarah Swiss. Wawasan musiknya makin meluas dan mulai mengenal jazz. Tak perlu waktu lama, potensi dan bakal itu sudah tercium oleh Yosef Bodmer.
“Saya tahu jazz adalah duniamu yang sebenarnya. Perdalamlah musik itu!” pesan Yosef Bodmer dengan yakin.
Pendalamannya membuahkan hasil dalam waktu singkat. Saat usianya belum genap 15 tahun, Bubi Chen sudah mampu mengaransemen karya komposer klasik macam Beethoven, Chopin, dan Mozart dengan balutan irama jazz. Tekad Bubi Chen sudah bulat, dia memutuskan untuk serius terjun ke dunia jazz.
Pada 1955, Bubi Chen berangkat ke Amerika Serikat guna mengikuti kursus di Wesco School of Music, New York. Di sana dia belajar dari Teddy Wilson, murid dari Benny Goodman yang disebut-sebut sebagai “Father of Swing”.
Sepulang dari AS, Bubi Chen mulai meniti karir musiknya di Indonesia. Bersama Jack Lesmana, mereka berdua sempat bikin album yang direkam di Lokananta dan diberi tajuk Bubi Chen with Strings pada tahun 1959.
Album tersebut mendapat tanggapan baik dari pasar dan para kritikus jazz. Album itu sempat diputar oleh Voice of America. Penyiarnya, Willis Conover, yang juga seorang pegiat jazz ternama AS, bahkan menyebut Bubi Chen sebagai “The Best Pianist of Asia”.
Bubi Chen lantas diajak bergabung oleh Jack Lesmana ke dalam grup bernama Indonesian All Stars. Di supergup ini, mereka bergabung dengan Benny Mustapha (drum), Maryono (flute), dan Jopie Chen (bass). Tak butuh lama bagi proyek ini untuk menarik perhatian publik. Salah satunya dari Tony Scott, peniup klarinet jazz asal Amerika. Scott, yang pada dekade 1960-an berada di Jakarta, mengajak mereka untuk manggung sekaligus bikin rekaman kolaborasi.
Lahirlah kemudian album Djanger Bali yang di antaranya berisi gubahan ulang empat repertoir tradisional Indonesia seperti “Ilir-Ilir,” “Burung Kakatua,” “Gambang Suling,” dan “Djanger Bali”. Album Djanger Bali digarap di Jerman pada akhir Oktober 1967. Grup ini juga sempat manggung beberapa kali di Jerman, Eropa, Australia, sampai AS.
“Their appearance at the JazzFest Berlin surprised many critics and jazz musicians who happened to be there. At that event, Bubi Chen was announced as the pianist for JazzFest Berlin All Stars. His name was mentioned in the American jazz magazines as world class pianist,” tulis Jazzuality mengenang penampilan Bubi Chen dkk. Di sana bahkan kabarnya Bubi Chen juga sempat melakoni jam session bersama musisi jazz internasional seperti Philly Joe Jones dan Manfred Schoof.
Album Djanger Bali sempat dirilis ulang oleh demajors untuk pasar Indonesia pada 29 November 2015.
Dalam perjalanan, karir musik Bubi Chen semakin melesat dan dihormati. Selama karirnya, Bubi Chen telah menghasilkan lebih dari 30 album studio. Di antaranya adalah Kedamaian (1989), Bubi Chen and his friends (1990), Bubi Chen: Virtuoso (1995), Jazz The Two of Us (1996), hingga All I Am (1997), dan masih banyak lagi.
“Yang membikin Bubi Chen istimewa ialah karena ia merupakan pianis jazz dengan kemampuan yang lengkap. Ia punya kualitas bermain yang mumpuni, jempolan mengaransemen komposisi, serta piawai menyatukan harmoni-harmoni yang dihasilkan dari deru improvisasi. Ia adalah komposer yang andal,” tulis Faisal Irfani di situs Tirto. “Jazz, di tangan Bubi, muncul dengan cara yang segar. Gaya bermusik Bubi memiliki karakter disonansi yang renyah, kuat, dan kaya ritme. Di samping itu, lagu-lagunya mudah diingat, memikat penggemar musik kontemporer, jazz puritan, sampai yang abangan.”
Musisi Iskandarsyah Siregar, selepas bermain bersama Bubi Chen pada event Java Jazz sempat berkomentar, “Sepertinya Bubi sulit memisahkan napas dengan musiknya…”
“Bayangkan, sebuah otonomi estetik kecapi-suling disusupi secara indah oleh Bubi Chen dengan bentuk improvisasi dan subtitusi jazz. Bayangkan sebuah harmoni sakral dan hampir minimalis, dibayangi oleh idiom-idiom jazz dari permainan Bubi Chen dengan akur-akur seluas-luasnya, bahkan dengan teknik super-impossion yang demikian modern. Secara teknik saja, hal itu sudah menarik. Tetapi ini lebih dari itu, Bubi Chen total, lentur, ‘kawin’ dengan pakem-pakem kecapi-suling, tanpa menghilangkan karakter dia yang kuat, juga kentalnya sentuhan dan rasa seorang Bubi Chen. Makanya, hal ini bisa disebut ‘Hebat’,” ungkap Harry Roesli memuji pendekatan etnik yang dilakoni Bubi Chen.
“He is the king of the piano players from Asia,” puji Richard Pattiselano, seorang musisi jazz Indonesia yang kini tinggal di Belanda.
Penghargaan demi penghargaan juga kerap mampir di tangan Bubi Chen. Pada tahun 2004, dia menerima penghargaan Satya Lencana pengabdian seni dari presiden Megawati. Setahun kemudian, Peter F. Gontha pada gelaran Java Jazz Festival yang pertama memberikan penghargaan Jazz Living Legend. Bubi Chen juga pernah mendapatkan Life Achievement Award dari gubernur Jawa Timur karena dinilai telah memperkenalkan Surabaya ke dunia internasional melalui musik jazz. Penghargaan itu diberikan pada gelaran Wismilak The Legend of Jazz (2010).
Kendati banyak dipuji dan seringkali disebut sebagai musisi jazz legendaris, Bubi Chen tetap menjadi sosok yang humble dan rendah hati. Bagi Bubi Chen, musik adalah rasa maupun karsa yang diberikan semesta.
“Saya tidak pernah merasa diri saya menjadi legenda. Saya hanya orang biasa yang menerima banyak cinta kasih dari Tuhan,” kata Bubi Chen yang menikah dengan Anne Chiang pada tahun 1963 di Surabaya dan dikaruniai empat orang anak.
Bubi Chen meninggal dunia pada tanggal 16 Februari 2012 dalam usia 74 tahun di Rumah Sakit Telogorejo (Semarang) setelah lama mengidap penyakit diabetes melitus. Jasadnya dikebumikan di kota kelahirannya di Surabaya.
Hampir satu dekade lalu, Indra Lesmana berinisiatif mendokumentasikan album Bubi Chen Kwartet ke dalam format CD. Proses remastering dilakukan Danny Ardiono di Inline Studio dengan menggunakan source dari piringan hitam, bukan langsung dari master reel. Bunyi kretak-kretak khas piringan hitam memang sangat terasa dan agak sukar untuk diredusir. Namun upaya menghadirkan kembali album jazz legendaris ini patut dihargai setingi-tingginya.
Proses kelahiran kembali album Bubi Chen Kwartet ini lalu ditangani oleh label rekaman demajors. Ketika jadi, album versi rilis ulang ini diberi judul Buaian Asmara, dengan lukisan wajah Bubi Chen sebagai ilustasi sampul albumnya. Format CD-nya dirilis resmi pada tahun 2007 oleh demajors.
“This record embraces wonderful historical and musical artwork of Indonesian jazz legends,” tulis Indra lesmana pada bagian sampul album reissue ini.
“Bubi Chen has dedicated his life to explore, teach, influenced and most importantly play jazz music for Indonesian jazz enthusiasts and communities for more than 60 years,” ungkap demajors dalam pernyataannya yang tertuang dalam liner notes album Buaian Asmara. “His music dedication makes us proud to be a part in Indonesia music industry.”
Album Buaian Asmara bisa didapatkan melalui situs demajors.com, demajors App, maupun di seluruh jaringan (at)demajors.