Butuh waktu tujuh tahun bagi Burgerkill untuk kembali mengguncang blantika musik cadas Indonesia lewat album bertajuk Adamantine. Album kelima milik unit metal asal Bandung itu resmi dirilis mulai tanggal 20 April 2018 oleh BKHC Records dan demajors. Rekaman berformat CD tersebut diedarkan dalam dua versi: deluxe edition (hardcover digipack) dan regular edition (jewel case).
Sebelumnya, CD Adamantine versi deluxe edition sempat dirilis secara terbatas pada gelaran konser Hellshow di Sabuga, Bandung, 15 April 2018. Hasilnya tentu sudah bisa ditebak, CD tersebut jadi rebutan para Begundal (julukan bagi fans Burgerkill), dan langsung ludes hanya dalam hitungan beberapa menit saja. Lebih banyak yang gigit jari dan menyesal karena datang kurang pagi ke venue.
Adamantine menjadi karya pembuktian bagi Ebenz dan Agung (gitar), Vicky (vokal), Ramdan (bass), dan Putra (drum) bahwa mereka makin kokoh dan tangguh di barisan depan pengusung heavy metal tanah air. Ini merupakan album kelima Burgerkill setelah Dua Sisi (1998), Berkarat (2003), Beyond Coma and Despair (2006), dan Venomous (2011).
Pada bulan Oktober 2019 kemarin, Adamantine kembali dirilis dalam format piringan hitam ukuran 12 inci oleh demajors dalam jumlah terbatas hanya 300 kopi saja. Ini merupakan album kedua Burgerkill yang dirilis dalam bentuk vinyl – setelah Beyond Coma and Despair yang diantisipasi sangat baik oleh penggemarnya dan saat ini sudah ludes di pasaran.
Untuk merayakan kehadiran plat Adamantine, mari kita menengok kembali materi musikal yang dihasilkan Ebenz dkk dalam karya rekaman tersebut.
Album ini dibuka dengan sepotong intro “Undamaged” yang ditaburi ancaman “You cannot destroy what you did not create…”. Dari situ sudah muncul sinyal kalau Adamantine adalah karya ambisius Burgerkill setelah menempuh berbagai kemungkinan eksplorasi musikal.
Sejak awal durasi, “Pledge To Fight” seperti mengajak gelut dan baku hantam. Komposisinya terdengar berani, ngotot, dan melawan. Lagu ini dibangun oleh segerombolan riff gitar yang kekar dan aura thrashy yang kokoh, plus hardikan vokal yang tajam. Dilanjutkan dengan “Paradoks” yang berisi banyak layer metal bernuansa progresif. Terutama pada porsi gitar yang bertumpuk, lantas diselipi solo gitar yang cukup bernyali.
“Integral” membawa semangat hardcore yang kuat. Lagu seperti ini akan merangsang kepalan tangan di udara. Representasi terbaik dari keberingasan beruang grizzly yang dijadikan ikon di album Adamantine ini. Spirit yang sama juga dibawa oleh “United Front” yang sarat nuansa hardcore/punk – dengan menggamit vokalis tamu Dom Lawson (jurnalis rock/metal dari Metal Hammer, UK).
Lagu paling kompleks ada pada “Superficial”. Di sini Burgerkill bermain-main dengan atmosir prog/tech metal yang sulit ditebak. Itu cukup menunjukkan kualitas penulisan musik mereka. Dipacu dalam tempo yang agak lamban, tapi terdengar cukup padat dan berisi. Kualitas tehnik vokal Vicky cukup diuji di lagu ini. Dia bisa menjelajah ke ruang-ruang yang tak terkira. Ditambah dengan selipan melodi dan solo gitar yang bercorak ala Pestilence atau Atheist.
Sementara “Undefeated” menjadi track yang paling riuh dan komplit. Sepertinya semua referensi musikal para personel Burgerkill dimasukkan di sini – mulai dari rock, punk, hardcore, hingga metal. Dalam tensi yang ngebut, energi lagu ini seperti sulit ditahan dan bakal jadi favorit di moshpit.
“Celestial” merupakan track instrumental yang dibikin khusus sebagai ode bagi keluarga dan teman Burgerkill yang sudah tiada. Gitaris Agung dan Ebenz berbagi porsi dalam aransemen akustik maupun elektrik yang syahdu. Hingga tiba-tiba solo bass Ramdan menyeruak di tengah lagu. Ada sekelumit solo gitar dengan skill hard rock yang ikut meningkatkan kadar melankolia nomor ini.
Burgerkill terbilang cerdik ketika memilih untuk mengkover lagu “Air Mata Api”. Itu memang tembang milik Iwan Fals yang paling “metal” di antara seluruh diskografinya. Dari sononya sudah beringas, jadi tidak perlu terlalu banyak gubahan lagi. Alhasil, lagu ini sukses dieksekusi dengan baik dan terdengar makin bertenaga di tangan Ebenz dkk.
Jika mencermati sekujur materi rekaman ini, Adamantine seperti merevisi dan mengembangkan apa yang pernah mereka lakukan di album Venomous (2011). Ebenz dkk berupaya memolesnya secara lebih kaya, kuat dan solid.
Sebab, Adamantine berisi banyak komposisi musik metal yang dipacu semakin tehnikal dan progresif. Kadang, salah satu konsekuensi dari pilihan itu adalah mereka kudu siap “kehilangan” hook atau bagian-bagian anthemik yang bisa diandalkan ketika manggung. Mereka sepertinya sudah siap dan cukup sadar dengan resiko tersebut.
“Indonesia’s metal kings Burgerkill set out to build their empire with Adamantine” – Metal Hammer.
Kabar baiknya, kita bisa mendapatkan referensi musikal yang kaya dari Adamantine. Mulai dari pengaruh referensi Gojira, Mastodon, Lamb of God, Soilwork, hingga Machine Head tentu ikut membangun pondasi musik mereka di album ini.
Kabarnya sang drummer Putra cukup lihai dan cepat beradaptasi dengan pola produksi Burgerkill yang dikenal ketat dan rinci. Bahkan, dia mungkin bintangnya di album ini. Vicky juga mulai jago menulis lirik dan mampu bernyanyi dengan tehnik yang makin mumpuni.
Jika Adamantine dibilang sebagai wujud baru dari musikalitas Burgerkill, itu mungkin benar. Ebenz sempat mengatakan kalau Adamantine itu sebenarnya merangkum segala sisi musikal dari empat album mereka sebelumnya. Sebuah konklusi dari aransemen musik dan tema yang pernah diusung Burgerkill selama ini.
Penjelajahan musikal Burgerkill ternyata sudah cukup jauh, bahkan mulai menerobos sekat-sekat yang ada. Adamantine membuktikan kalau Burgerkill jadi lebih tangguh dan solid di segala sisi. Sekaligus, lagi-lagi, menciptakan standar produksi yang lumayan tinggi di kancah musik metal Indonesia.
Album Adamantine bisa didapatkan melalui situs demajors.com, demajors App, maupun di seluruh jaringan (at)demajors.